Update 2014

A few years later…

Sesudah kelahiran anakku yang ketujuh, si Ibrohim As’ad, di 17 Februari 2010, di bulan yang sama tahun 2012 ada perkiraan oleh bidan bahwa istriku mau melahirkan lagi.

Benar, 2 tahun lalu dari tahun 2014 ini istriku hamil yang ke-8, kembar. Tapi atas kehendak Allah, terjadi keguguran di minggu ke-14 kehamilan istriku.
Sebenarnya aku sudah punya firasat soal itu. Di keluargaku gak ada riwayat kembar, baik bapak maupun ibuku dan naik sampai kakek nenek. Gak ada…
Lantas kenapa istriku hamil kembar?

Firasat itu hanya aku simpan sendiri. Sampai ketika sudah mengalami keguguran, baru aku cerita ke istri sekalian untuk menghibur. Tapi istriku waktu itu memang tidak terlalu syok sih. Baru minggu ke-14, jadi belum kerasa bener.

Aku bilang padanya, kalau kehamilan yang ke-8 ini sepertinya Allah ingin menguji kami dengan tipe ujian “kehilangan nyawa” sebagaimana bunyi Al Qur’an. Aku bilang padanya ini bukan ujian pertama buat kami. Dulu, waktu aku menikahi dia, ujiannya adalah aku harus ninggalin kerjaan yang sudah mapan di Bekasi. Itu ujian dalam bentuk “kehilangan harta”. Lantas pasca pernikahan sampai anak pertama lahir, ekonomi kami bergoyang-goyang. Itu ujian dalam bentuk “goyang ekonomi”. Dan akan datang lagi ujian-ujian yang lain. Tapi kami harus yakin bahwa Allah tidak akan membebani kami dengan perkara yang kami tidak akan sanggup menghadapinya. Artinya, semua ujian yang datang pasti sanggup kami hadapi. Yang dibutuhkan hanyalah sabar, usaha, tawakkal. Doa adalah salah satu bentuk usaha.

Kembali ke keguguran.

Minggu ke-14, kondisi janin belum bernyawa. Menurut Al Qur’an, tiupan ruh dilakukan di 4×40 hari. Sekitar minggu ke-23. Jadi ujian “kehilangan nyawa” sebenarnya kurang tepat. Tapi bagiku, terasa sudah kehilangan anggota keluarga. Dua sekaligus.

Aku bilang ke istri, Allah berkenan memberi kami ganjaran, mudah-mudahan. Maka konsekuensinya adalah kami harus sabar. Pokoke sabar…. wis

Maka waktu pun berjalan.

Beberapa bulan kemudian istriku hamil lagi. Kehamilan yang ke 9 untuk anak yang ke-10. Alhamdulillah. Semua berjalan normal. Situasi juga kondusif. Hingga hari H itu datang.

Adalah tanggal 1-3-2013, lahirlah anakku yang ke-10, perempuan. HPL dari bidan adalah tanggal 13-3-2013. Maju dari perkiraan. Buatku sih gak ada istilah maju atau mundur. Memang lahirnya ya hari itu, titik.

Harinya Jum’at, 1-3-2013. Waktunya sesudah isya’. Waktu itu aku baru pulang dari masjid. Nyampe rumah, istri minta diantar ke rumah bersalin yang sama waktu Ibrohim lahir. Subhanallah tutup. Diatas motor aku bawa istriku meluncur ke rumah bersalin yang lebih besar lagi. Di perjalanan istriku mengerang menahan sakit persalinan. Ya Allah…

Sampai di rumah bersalin, istri langsung aku bawa masuk ke ruang bersalin. Diterima dua orang perawat. Aku keluar sebentar untuk mengatur motor di parkiran. Saat aku kembali masuk ke ruang tunggu, aku dengar istriku berteriak, “Mbak, kok bayinya ditahan. Ini sudah mau keluar!”

Aku kaget. Kok istriku berteriak begitu. Ada apa? Tapi aku dilarang masuk oleh salah satu perawat. Sebentar kemudian bayi keluar. Perempuan. Tanpa tangisan bayi. Ingat Chacha, dulu juga tidak nangis.

Sesaat kemudian bayi terlihat dibersihkan oleh perawat. Aku cuma melihat dari balik kaca. Terlihat normal tidak kurang suatu apa. Aku bernafas lega. Tapi itu tidak lama. Saat aku sudah boleh masuk ke ruang bersalin, aku tanya istri tentang teriakannya. Dia jawab, sama perawat, jalan lahir dihalangi, katanya nunggu alat-alat siap. Laa haula wa laa quwwata illaa billaahi….

Macam mana pula ini? Di merata tempat, orang mau lahiran mah, disuruh langsung tancap gas. Ini malah disuruh ngerem. Masalah….

Aku penasaran tingkat tinggi. Aku langsung menuju ruang bayi. Aku dekati anakku. Aku ambil dan dekap dia. Aku rangsang kaki dan tangan. Terlihat lemas. Capek mungkin. Tak apa, trauma persalinan mungkin, pikirku. Dalam hati aku terus berdoa. Ya Allah… Aku perhatikan bayiku. Dalam lemasnya, dia terlihat cantik. Sempurna. Tapi dari situlah juga aku merasa bahwa hidup anakku tak kan lama. Umumnya bayi baru lahir bentuknya pating pecothot gak karuan. Gak ada cantik atau ganteng blas. Lha anakku ini subhanallah, cantik sekali. Wajahnya begitu tenang seolah mengatakan, tenang saja ya, Yah…

Ibrohim waktu bayi, pating pecothot gak karuan

Ibrohim waktu bayi, pating pecothot gak karuan

Ibrohim kini, imut

Ibrohim kini, imut

Sejam kemudian istriku masuk bangsal. Bayiku masih di ruang bayi, belum dibersamakan dengan umminya. Kami pun tidur.

Besok paginya, aku masuki ruang bayi. Aku lihat anakku. Masih terlihat lemas. Dan belum kudengar tangisnya. Aku datangi perawat. Aku tanya ini itu. Banyak pertanyaan aku ajukan. Aku ajak langsung ke ruang bayi. Aku paksa dia untuk melihat dan merangsang serta melakukan semua tindakan yang perlu untuk bayiku. Si perawat mulai terlihat aneh di mataku.

Akhirnya dengan kesepakatan, mereka siap menangani bayiku lebih intensif dan kami tunggu sampai 16 jam ke depan. Kalau belum ada perkembangan, bayiku akan aku bawa ke rumah sakit untuk tindakan lanjutan.

Dan benarlah, 16 jam kemudian bayiku diantar ke RSUD Karanganyar. Langsung masuk bangsal bayi resiko tinggi. Aku pastikan bayiku sudah ditangani, lantas aku balik ke rumah bersalin. Membereskan urusan istriku dan langsung aku ambil pulang. Toh secara fisik istriku baik-baik saja. Secara mental akan lebih nyaman kalau sudah di rumah.

Akhirnya aku wira-wiri ke rumah dan RSU. Nengok istri lalu bayi. Aku tidur di teras rumah sakit untuk menemani bayiku meski dari seberang kaca pembatas. Nginap dua malam. Selama “masa penginapan” itu aku punya banyak teman baru. Para orang tua dari anak-anak yang menanggung beban resiko tinggi pada bayi-bayi mereka. Saat kami ngobrol-ngobrol, aku merasa masih ada ni’mat yang Allah berikan disela-sela kesedihanku. Begitulah dunia, disela kesedihan pasti ada keni’matan, sebaliknya disela keni’matan pasti ada kesusahan. Fana….

Aku ketemu dengan dokter kepala di pagi hari besoknya. Kami bicara sebentar dan dia bilang, kalau sampai 18 jam bayiku tidak ada kemajuan, maka harus dirujuk ke RSU Dr. Moewardi di Jebres Solo. Aku tanya, kenapa dengan bayiku. Dia jawab masih dalam penelitian. Dalam hati aku menaruh kecurigaan pada proses persalinan. Tapi tetap aku simpan saja. Aku berharap semua berjalan normal. Aku juga mulai menghubungi teman-teman dokter yang praktek di RSU Jebres.

Akhirnya 18 jam kemudian aku dan bayiku berangkat ke RSU Jebres. Di sana langsung diterima oleh teman-temanku. Bayiku langsung di bawa ke kamar bayi resiko tinggi dan diserahkan kepada dokter jaga yang aku belum kenal. Tetapi beberapa saat kemudian kami menjadi akrab dan alhamdulillah berteman sampai sekarang.

Oleh dokter kepala, aku ditanya kronologis persalinan. Aku jawab apa adanya. Dan dari diagnosis dan analisis dokter, memang ada kemungkinan penyebab gangguan itu dari proses persalinan, tapi itu masih harus diteliti dulu. Yang penting sekarang adalah mengusahakan kesehatan bayi. Aku setuju.

Aku menginap di Jebres beberapa hari. Beberapa temanku malah ikut menemaniku di penginapan baruku. Malah di sana sudah banyak pula para orang tua yang anaknya juga dirawat di kamar bayi resiko tinggi.

Selama aku menemani bayiku, aku lihat -masya Allah- para dokter dan juga para perawat yang ada di ruang bayi itu baik-baik semua. Terlihat bersahabat. Sangat malah. Mungkin muncul dari rasa empati sebagai orang tua yang mengalami kesusahan karena sakit anaknya. Tapi juga aku lihat daya kerja para dokter dan perawat ini luar biasa menurutku. Dua orang residen laki-laki dan dua residen perempuan yang menginap di sana juga masya Allah, baik-baik banget. Penuh perhatian, baik kepada pasien maupun keluarganya. Mudah-mudahan Allah membalas semua kebaikan mereka, amien.
Maka, ketetapan Allah mesti berlaku. Dengan diiringi usaha luar biasa para tenaga medis dan doa semua orang, bayiku meninggal pada pagi hari Rabu, 13-3-2013. Saat itu ada teman dokter yang datang menjengukku dan juga bayiku. Dia yang kemudian mengurusi semua perkara administrasi dan menghubungi keluargaku disaat aku dengan lemah memandangi jasad bayiku yang masih dipenuhi selang-selang infus, oksigen dan alat perawatan yang lain. Rontok juga ketegaranku, tak tertahan, menetes juga air mata mengiringi kepergian anakku meski aku sadar, ini jalan terbaik buat dia dan aku serta keluargaku.

Dokter-dokter yang laki-laki bergantian memelukku. Membisikkan kata-kata motivasi. Berusaha meredakan kesedihanku. Terima kasih semuanya.

Aku minta diantar ke ruang shalat mereka. Aku shalat dua raka’at. Menyandarkan beban keluh kesah kepada Rabbku. Selesai shalat jadi lebih tenang. Gemetar kakiku mulai berkurang. Saat aku keluar dari ruangan shalat, kulihat dokter temanku itu sudah memberi arahan kepada teman menginapku untuk mengurus jenazah.

Akhirnya siang harinya, kami kuburkan bayiku. Dan jadilah dia tabungan akhirat kami, mudah-mudahan.

Dan di hari-hari berkabungku, banyak teman berdatangan. Terima kasih semuanya. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua, wahai saudara-saudaraku.

Dan waktu pun berlalu.

Suatu hari aku datang ke bengkel resmi Yamaha untuk servis rutin si Byson. Mbak di bengkel bilang, Pak, lama gak kelihatan, kemana aja Pak?

Aku bilang, baru panen Mbak.

Wah, bagi-bagi dong Pak.

Mbaknya mau, kataku.

Panen apa to Pak?

Panen musibah.

Loh… musibah apa Pak?

Dalam rentang 1 sampai 2 tahun ini saya kehilangan 3 orang anak Mbak, kataku.

Nah, saat kami mengobrol itulah datang seorang customer dan bergabung. Yang meninggal putranya ya Pak? Tanya dia.

Ya benar Pak, tapi masih bayi kok.

Di rumah bersalin mana?

Di “anu” (nama disamarkan)

Wah, saya juga Pak. Anak saya juga meninggal di sana.

Bla….bla….bla…

Akhirnya ada lagi satu orang bergabung lalu jadilah kemudian 4 orang terlibat obrolan yang mengarah kepada usaha membentuk sebuah aliansi untuk menuntut pihak rumah bersalin. Tapi aku mundur saja. Bukan apa-apa, aku ingin hal ini bisa menjadi alasan untuk diganjar oleh Allah. Maka aku harus melonggarkan semua kesedihan.

Kalaupun terbukti ada faktor kesalahan atau malpraktek, maka biarlah Allah yang akan membalasnya atau minimal biar orang lain yang aku tidak tahu siapa dia yang akan menindaklanjutinya. Aku akan mengadu kepada Allah saja. Begitu tekadku. Dan mereka akhirnya menerima sikapku.

Lalu hari-hariku pun kembali berjalan normal. Dan keluargaku juga baik-baik saja.

Suatu saat, kami jalan-jalan ke perkebunan teh di daerah Kemuning. Sambil menikmati makan siang di resto Kemuning itu aku bernostalgia dengan istri sambil memperhatikan anak-anak kami yang bermain-main. Berusaha mengambil hikmah dari meninggalnya 3 anak kami.

Ada hadits yang memberitahukan bahwa siapa orang yang sabar ditinggal mati 3 anaknya yang masih kecil-kecil, maka mereka nanti akan jadi penyelamat orang tuanya dari jilatan api neraka. Kami pun berharap yang demikian. Selain tentunya kami berharap bahwa ada ganti yang lebih baik dari yang hilang.

By the way, bayi perempuan yang meninggal sudah aku kasih nama, Suha Maziyya. Bintang kecil yang bersembunyi dibalik awan tetapi sinarnya cemerlang. Harapan kami adalah besok dia bisa berdiri di belakang suami dengan memberikan dorongan pemikiran yang cemerlang. Betapa banyak laki-laki yang sukses berkat dorongan sang istri.

Sambil menikmati ikan mas asam pedas dan teh ijo kesukaanku, aku pikir-pikir sambil iseng. Bahwa Suha lahir tanggal 1-3-2013, meninggal tanggal 13-3-2013, pas umurnya 13 hari. Padahal HPL dari bidan adalah tanggal 13-3-2013. Lihatlah lihat, banyak angka 13 di sana. Aku dan istriku tersenyum. Pastinya ada orang di luar sana yang menghubungkan garis nasib anakku dengan angka 13. Terserahlah, bagiku angka-angka itu sama cantiknya dengan anakku.

Jrenggg…

Tak lama kemudian dalam hitungan kewajaran, istriku hamil lagi. Dalam waktu kurang dari 3 tahun hamil 3 kali. Pada kehamilan yang ke-10 untuk anak yang ke-11 ini kami easy going ajah… semua hanya dijalani begitu saja. Tak perlu mikir macem-macem, rada ndablegh gitu… kalau mau lancar ya lancar ajah, kalau mau diuji lagi ya biarlah…. pikir kami berdua.

Lha, beberapa minggu yang lalu, ada tamu. Bidan desa. Secara resmi dia menyampaikan tujuan dan kepentingannya mengunjungi kami dan juga para ibu hamil di desa kami. Dia juga bilang bahwa kehamilan istriku itu kehamilan resiko tinggi, dilihat dari usia yang 40 tahun dan angka kehamilan yang ke-10. Di depan pintu rumahku juga dia tempelin stiker: Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi yang ada tanda merah. Bahaya….

Aku bilang saja ke dia begini;
Bu, nabi Zakariyya itu umurnya 120 tahun dan istrinya 78 tahun, mereka baru melahirkan anak pertama dan itu tak apa-apa. Mudah lagi. Sebagian riwayat memang mengatakan begitu. Lha ini istri saya malah jauh lebih muda dan sudah pengalaman melahirkan banyak kali. Logikanya lebih mudah to, wong sudah berpengalaman. Hehe….

Ibu putranya berapa?

3 orang Pak. Wah, 3 saja sudah repot Pak…

Aku bilang, semua juga bilang repot. Sekalian banyakin ajah…

Artinya Ibu kalah pengalaman dari kami. Jadi bukan mau nyombong ya Bu, riilnya Ibu belum punya pengalaman seperti kami. Ibu hanya mendasari tindakan menurut ilmu yang datang pada Ibu. Kami juga ada sedikit ilmu sekaligus pengalaman. Bagaimana, Bu?

Dia tersenyum, agak kecut dikit…

anak ke-11

anak ke-11

Begini saja, Bu. Silakan Ibu jalankan tugas Ibu, kami hormati hak Ibu. Apa yang Ibu perlukan untuk menjalankan tugas akan kami bantu. Tapi biarkan kami jalani hidup kami sesuai keyakinan kami. Okay?

Nggih Pak, monggo mawon… Saya sudah disekak di sini.

Begitu akhirnya.

Dan kemarin, Ahad 23-3-2014, lahirlah anak kami yang ke-11, laki-laki. Kami beri nama Hilmi Tsaqib. Harapan kami adalah agar jadi anak yang calm, cool, confident…. tenang dalam bertindak, yang cerdas dalam berpikir, dan didasari ilmu serta keshalehan. Wis pokoke harapannya yang baik dan oke punya.

Tinggalkan sebuah Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar


Entries dan komentar feeds.